A. SEJARAH FOTO JURNALISTIK
Foto jurnalistik berakar dari fotografi dokumenter
setelah teknik perekaman gambar secara realis ditemukan. Embrio foto
jurnalistik muncul pertama kali pada Senin 16 April 1877, saat surat kabar
harian The Daily Graphic di
New York memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon pada
halaman satu. Terbitan tersebut menjadi tonggak awal hadirnya foto jurnalistik
pada media cetak yang saat itu hanya berupa sketsa.
Terbitan The Daily Graphic yang memuat gambar terpaut lebih dari setengah
abad sejak Louis J.M. Daguerre yang berkebangsaan Prancis pada 19 Agustus 1839
mengumumkan hasil eksperimen fotografinya. Setelah muncul di koran, fotografi yang
kala itu juga menjadi pertentangan apakah sebagai produk seni terus berkembang.
Kemajuan pesat fotografi tercatat pasca tahun 1884 setelah George Eastman
menciptakan film (setara ISO 24 saat ini).
B.Sejarah Foto Jurnalistik Di Indonesia
Di Tanah Air, fotografi ditengarai masuk tahun 1841
oleh Juriaan Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat jalan laut di
Batavia. Sejarah foto jurnalistik Indonesia diwakili kantor berita Domei, surat kabar Asia Raya, dan
agensi foto Indonesia Press Photo Service (IPPHOS). Berbeda dengan
Kassian Cephas yang cenderung mooi indie, ada nama juru foto H. M. Neeb dengan
karyanya yang fenomenal kurun 1904 tentang perang Aceh. Satu foto Neeb
memperlihatkan barisan tentara kolonial berdiri di atas benteng bambu dengan
mayat-mayat bergeletakan di tanah. Tanpa kehadiran Neeb tak ada kesaksian
perang Aceh melawan kolonial.
Bulan Agustus di tahun 1945 mencekam. Tentara Heiho
bersenjata masih berpatroli di jalanan Jakarta. Subuh di bulan Ramadhan tanggal
17 Agustus, dua bersaudara Alex dan Frans membawa kamera menuju kediaman
Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Mereka berangkat karena mendengar
informasi adanya peristiwa penting terkait perjuangan.
Akhirnya pada sekira pukul 10.00 proklamasi yang
teramat penting itu terekam dalam lembaran film. Tentara Jepang yang mengetahui
pendokumentasian proklamasi berhasil merampas kamera Alex Mendur. Kemudian
menghancurkan pelat-pelat negatif. Namun Frans lebih beruntung dan sempat
menyembunyikan negatif karyanya. Ia menanam film-film itu di bawah pohon di
halaman kantor Asia Raya. Saat tentara Jepang menggeledahnya ia mengaku filmnya
telah dirampas Barisan Pelopor. Ketika keadaan berangsur aman Alex dan Frans mencuri-curi
kesempatan untuk mencetak foto itu di kamar gelap Kantor Berita Domei.
Meski berita proklamasi kemerdekaan itu tersiar di
surat kabar esok harinya tapi foto proklamasi baru dimuat pada Februari 1946 di
harian Merdeka. Kelak film bersejarah ini hilang dan hanya
menyisakan lembar foto cetak.
Perkembangan foto jurnalistik di tanah air semakin
konsisten dan berkelanjutan setelah kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto Jurnalistik
Antara (GFJA) tahun 1992, galeri pertama yang fokus pada foto jurnalistik.
Foto jurnalistik di Indonesia semakin maju karena
masyarakat fotografi di tanah air peka terhadap tren foto dunia. Banyak
pameran, kompetisi, dan pelatihan-pelatihan foto diadakan. Komunitas-komunitas
fotografi juga bermunculan dan tumbuh. Komunitas yang dibangun dengan semangat
untuk maju. Foto jurnalistik jadi satu aliran foto yang terus menerus
diperbincangkan dan diulas oleh para pegiatnya. Kemajuan foto jurnalistik di
tanah air juga ditandai dengan makin seringnya jurnalis-jurnalis foto Indonesia
yang menjuarai kontes foto jurnalistik bergengsi tingkat internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar