Senin, 25 April 2016

Fotografi Jurnalistik "Penulisan Gunadarma University"

I.Sejarah Fotografi
Sejarah Fotografi dimulai pada abad ke-19. Tahun 1839 merupakan tahun awal kelahiran fotografi. Pada saat itu, di Perancis dinyatakan secara resmi bahwa fotografi adalah sebuah terobosan teknologi. Saat itu, rekaman dua dimensi seperti yang dilihat mata sudah bisa dibuat permanen.Sejarah fotografi bermula jauh sebelum Masehi. Pada abad ke-5 Sebelum Masehi (SM), seorang pria bernama Mo Ti mengamati suatu gejala. Jika pada dinding ruangan yang gelap terdapat lubang kecil (pinhole), maka di bagian dalam ruang itu akan terefleksikan pemandangan di luar ruang secara terbalik lewat lubang tadi. Mo Ti adalah orang pertama yang menyadari fenomena kamera obscura. 
Berabad-abad kemudian, banyak yang menyadari dan mengagumi fenomena ini, sebut saja Aristoteles pada abad ke-3 SM dan seorang ilmuwan Arab Ibnu Al Haitam (Al Hazen) pada abad ke-10 SM, yang berusaha untuk menciptakan serta mengembangkan alat yang sekarang dikenal sebagai kamera. Pada tahun 1558, seorang ilmuwan Italia, Giambattista della Porta menyebut ”camera obscura” pada sebuah kotak yang membantu pelukis menangkap bayangan gambar.Nama kamera obscura diciptakan oleh Johannes Kepler pada tahun 1611. Johannes Kepler membuat desain kamera portable yang dibuat seperti sebuah tenda, dan memberi nama alat tersebut kamera obscura. Didalam tenda sangat gelap kecuali sedikit cahaya yang ditangkap oleh lensa, yang membentuk gambar keadaan di luar tenda di atas selembar kertas.
Berbagai penelitian dilakukan mulai pada awal abad ke-17 ,seorang ilmuwan berkebangsaan Italia – Angelo Sala menggunakan cahaya matahari untuk merekam serangkaian kata pada pelat chloride perak. Tapi ia gagal mempertahankan gambar secara permanen. Sekitar tahun 1800, Thomas Wedgwood, seorang berkebangsaan Inggris bereksperimen untuk merekam gambar positif dari citra pada kamera obscura berlensa, hasilnya sangat mengecewakan. Humphrey Davy melakukan percobaan lebih lanjut dengan chlorida perak, tapi bernasib sama juga walaupun sudah berhasil menangkap imaji melalui kamera obscura tanpa lensa.Akhirnya, pada tahun 1824, seorang seniman lithography Perancis, Joseph-Nicephore Niepce (1765-1833), setelah delapan jam meng-exposed pemandangan dari jendela kamarnya, melalui proses yang disebutnya Heliogravure (proses kerjanya mirip lithograph) di atas pelat logam yang dilapisi aspal, berhasil melahirkan sebuah gambar yang agak kabur, berhasil pula mempertahankan gambar secara permanen. Ia melanjutkan percobaannya hingga tahun 1826, inilah yang akhirnya menjadi sejarah awal fotografi yang sebenarnya. Foto yang dihasilkan itu kini disimpan di University of Texas di Austin, AS.
Penelitian demi penelitian terus berlanjut hingga pata tanggal tanggal 19 Agustus 1839, desainer panggung opera yang juga pelukis, Louis-Jacques Mande’ Daguerre (1787-1851) dinobatkan sebagai orang pertama yang berhasil membuat foto yang sebenarnya: sebuah gambar permanen pada lembaran plat tembaga perak yang dilapisi larutan iodin yang disinari selama satu setengah jam cahaya langsung dengan pemanas merkuri (neon). Proses ini disebut daguerreotype. Untuk membuat gambar permanen, pelat dicuci larutan garam dapur dan asir suling. Januari 1839, Daguerre sebenarnya ingin mematenkan temuannya itu. Akan tetapi, Pemerintah Perancis berpikir bahwa temuan itu sebaiknya dibagikan ke seluruh dunia secara cuma-cuma.
Fotografi kemudian berkembang dengan sangat cepat. Melalui perusahaan Kodak Eastman, George Eastman mengembangkan fotografi dengan menciptakan serta menjual roll film dan kamera boks yang praktis, sejalan dengan perkembangan dalam dunia fotografi melalui perbaikan lensa, shutter, film dan kertas foto.Tahun 1950, untuk memudahkan pembidikan pada kamera Single Lens Reflex maka mulailah digunakan prisma (SLR), dan Jepang pun mulai memasuki dunia fotografi dengan produksi kamera Nikon yang kemudian disusul dengan Canon. Tahun 1972 kamera Polaroid temuan Edwin Land mulai dipasarkan. Kamera Polaroid mampu menghasilkan gambar tanpa melalui proses pengembangan dan pencetakan film. Kemajuan teknologi turut memacu fotografi secara sangat cepat. Kalau dulu kamera sebesar tenda hanya bisa menghasilkan gambar yang tidak terlalu tajam, kini kamera digital yang cuma sebesar dompet mampu membuat foto yang sangat tajam dalam ukuran sebesar koran.
II.Sejarah Fotografi  Di Indonesia

Di Tanah Air, fotografi ditengarai masuk tahun 1841 oleh Juriaan Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat jalan laut di Batavia. Sejarah foto jurnalistik Indonesia diwakili kantor berita Domei, surat kabar Asia Raya, dan agensi foto Indonesia Press Photo Service (IPPHOS). Berbeda dengan Kassian Cephas yang cenderung mooi indie, ada nama juru foto H. M. Neeb dengan karyanya yang fenomenal kurun 1904 tentang perang Aceh. Satu foto Neeb memperlihatkan barisan tentara kolonial berdiri di atas benteng bambu dengan mayat-mayat bergeletakan di tanah. Tanpa kehadiran Neeb tak ada kesaksian perang Aceh melawan kolonial.
Bulan Agustus di tahun 1945 mencekam. Tentara Heiho bersenjata masih berpatroli di jalanan Jakarta. Subuh di bulan Ramadhan tanggal 17 Agustus, dua bersaudara Alex dan Frans membawa kamera menuju kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56. Mereka berangkat karena mendengar informasi adanya peristiwa penting terkait perjuangan.
Akhirnya pada sekira pukul 10.00 proklamasi yang teramat penting itu terekam dalam lembaran film. Tentara Jepang yang mengetahui pendokumentasian proklamasi berhasil merampas kamera Alex Mendur. Kemudian menghancurkan pelat-pelat negatif. Namun Frans lebih beruntung dan sempat menyembunyikan negatif karyanya. Ia menanam film-film itu di bawah pohon di halaman kantor Asia Raya. Saat tentara Jepang menggeledahnya ia mengaku filmnya telah dirampas Barisan Pelopor. Ketika keadaan berangsur aman Alex dan Frans mencuri-curi kesempatan untuk mencetak foto itu di kamar gelap Kantor Berita Domei.
Meski berita proklamasi kemerdekaan itu tersiar di surat kabar esok harinya tapi foto proklamasi baru dimuat pada Februari 1946 di harian Merdeka. Kelak film bersejarah ini hilang dan hanya menyisakan lembar foto cetak.
Perkembangan foto jurnalistik di tanah air semakin konsisten dan berkelanjutan setelah kantor berita Antara mendirikan Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) tahun 1992, galeri pertama yang fokus pada foto jurnalistik.
Foto jurnalistik di Indonesia semakin maju karena masyarakat fotografi di tanah air peka terhadap tren foto dunia. Banyak pameran, kompetisi, dan pelatihan-pelatihan foto diadakan. Komunitas-komunitas fotografi juga bermunculan dan tumbuh. Komunitas yang dibangun dengan semangat untuk maju. Foto jurnalistik jadi satu aliran foto yang terus menerus diperbincangkan dan diulas oleh para pegiatnya. Kemajuan foto jurnalistik di tanah air juga ditandai dengan makin seringnya jurnalis-jurnalis foto Indonesia yang menjuarai kontes foto jurnalistik bergengsi tingkat internasional.

III.KRITERIA-KRITERIA FOTOGRAFI JURNALISTIK
1.Jujur tanpa rekayasa:Foto yang diambil untuk dimasukan kedalam artikel atau dipublikasikan harus orisinil, tidak boleh di edit atau di photoshop terlebih dahulu.
2. Mengandung banyak informasi:Foto harus mengandung sebuah pesan atau informasi yang   faktual, agar berguna bagi masyarakat. Lebih banyak informasi yang disampaikan, lebih bagus.
3. Menarik banyak perhatian: Semua foto harus menarik, agar para pembaca mau melihatnya.   Salah satu cara agar foto menarik banyak perhatian adalah mengambil foto yang aktual (foto terbaru).
4. Wajar dan layak dipublikasikan:Foto-foto yang dipublikasikan harus lazim, tidak senonoh. Mereka harus wajar dan layak dipublikasikan.

IV.Karakteristik Fotojurnalistik

1.Dasar foto jurnalistik adalah gabungan antara gambar dan kata. Keseimbangan tertulis pada teks gambar (teks foto) adalah mutlak. Caption atau teks foto membantu melengkapi informasi dan memahami sebuah imaji (gambar, foto) yang dibagi di tengah-tengah masyarakat.Sehingga keduanya antara gambar (foto) dan berita (teks) memiliki keterikatan yang tak bisa dipisahkan. Sebuah foto mampu memberikan informasi selengkap berita apabila dilengkapi teks foto.Berdasarkan standar IPTC (International Press Telecomunication Council) teks foto harus selalu melekat di dalam foto itu sendiri. Penulisan teks foto bisa dilakukan pengeditan gambar di dalam photoshops, dengan menuliskannya di dalam file info yang telah tersdia.

2.Mediun foto jurnalistik biasanya disajikan dalam bentuk cetak baik itu surat kabar, tabloid, media internal, brosur maupun kantor berita. Bahkan saat ini media online telah masuk dalam kategori ini, mengingat perkembangan multimedia yang terus tumbuh.
Selain itu penyajian fotojurnalistik juga disajikan secara jujur, bagaimana adanya, tanpa ada rekayasa dalam penyajiannya.

3.Lingkup foto jurnalistik adalah manusia. Itu sebabnya seorang jurnalis foto mempunyai kepentingan mutlak pada manusia. Posisinya pada puncak piramida sajian dan pesan visual.
Dinny Soutworth menyimpulkan, merangkul manusia adalah pendekatan prioritas bagi seorang foto jurnalis, karena kerja dengan subyek yang bernama manusia adalah segala-galanya dalam profesi tersebut.

4.Bentuk liputan foto jurnalitik adalah suatu upaya yang muncul dari bakat dan kemampuan seseorang foto jurnalis yang bertujuan melaporkan beberapa aspek dari berita. Menurut Chick Harrity yang telah lama bergabung dengan kantor berita Associated Press (AP), USA, dan US News &World Report mengatakan, tugas seorang jurnalis foto adalah melaporkan berita sehingga bisa memberi kesan pada pembacanya seolah-olah mereka hadir dalam peristiwa yang disiarkan itu.
Tugas foto junalis adalah melaporkan apa yang dilihat oleh mata kemudian merekam dalam sebuah gambar  yang kemudian disampaikan secara luas melalui media massa. Yang memberi kesan bawa pembaca (masyarakat) seolah-olah berada di lokasi peristiwa itu.

5. Foto jurnalistik adalah fotografi komunikasi, di mana dalam penyajiannya bisa diekspresikan seorang foto jurnalis terhadap obyeknya. Obyek pemotretan hendaknya mampu dibuat berperan aktif dalam gambar  yang dihasilkan, sehingga lebih pantas menjadi obyek aktif.Namun dalam perkembangannya kini foto jurnalistik juga merupakan media ekspresi seorang foto jurnalis terhadap hasil karya-karyanya setelah melakukan peliputan. Sehingga tak heran jika dalam sebuah media menyiapkan halamannya secara khusus untuk memajang berbagai macam foto-foto hasil liputan karya foto jurnalisnya.

6.Pesan yang disampaikan dari suatu hasil visual foto jurnalistik harus jelas dan segera bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Pendapat sendiri atau pengertian sendiri tidak dianjurkan dalam foto jurnalistik, apalagi melakukan rekayasa.Gaya pemotretan yang khas dengan polesan rasa seni, tidak menjadi batasan dalam berkarya. Yang penting pesan yang disampaikan dapat dikomunikasikan di tengah-tengah masyarakat.

7. Foto jurnalistik membutuhkan tenaga penyunting yang andal, berwawasan visual yang luas, jeli, arif dan bermoral dalam menilai foto-foto yang dihasilkan oleh foto jurnalis. Seorang penyunting (editor foto) juga harus mampu membantu mematangkan ide-ide dan konsep foto jurnalis yang melakukan liputan terhadap sebuah peristiwa. Penyunting foto juga harus mampu memberi masukan, memilih foto agar tidak monoton, hingga melakukan pemotretan ulang terhadap foto-foto yang akan disiarkan.


8.Karena fotojurnalistik menyajikan informasi yang berakurasi tinggi, seorang jurnalis secara langsung merekam peristiwa yang terjadi dilokasi tanpa merekayasa. Praktis karya-karya yang dihasilkan dari hasil peliputan fotojurnalis tak bisa terbantahkan oleh kata-kata. Pada setiap event seperti bentrokan, caos, aksi demo, dsb, seorang fotojurnalis selalu berada di garda paling depan, guna mengabadikan fakta-fakta yang terjadi melalui kameranya

Sumber:Modul  lab fotografi Universitas Gunadarma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar